Jumat, 20 Juni 2014

Perspektif Psikologi

Perspektif  Neuroscience 
Menurut perspektif neuroscience, otak berperan dalam mengatur emosi, penalaran, berbicara, dan proses psikologis lainnya. Perspektif neuroscience dikembangkan oleh Santiago Ramon y Cajal yang memberikan deskripsinya tentang neuron. Pernyataannya bahwa otak terdiri atas jaringan interaksi sel-sel neuron, menjadi dasar bagi pemahaman modern dari peran otak dalam psikologi.
Perspektif neuroscience akan melihat penyebab tingkah laku abnormal pada seseorang, terutama dari ‘dalam’ individu tersebut. Perspektif ini akan berkonsentrasi pada cara kerja otak dan sistem tubuh lainnya dan bagaimana hal-hal tersebut mempengaruhi tingkah laku. Dapat dikatakan bahwa perspektif neuroscience adalah koneksi anatara pikiran dan tubuh. Sama halnya dengan yang dikatakan oleh ilmuan neuroscience, bahwa substansi kimia membawa rangsangan dalam bentuk pesan dalam sistem saraf dari neuron satu ke yang lain, dan mereka menemukan bagaimana obat-obatan seperti kokain dan marijuana, dapat mengganggu pola pikir dan tingkah laku seseorang.
 Perspektif Sosiokultural
Perspektif sosiokultural modern muncul dari bahasan antropologi sosial. Margaret Mead dan Ruth Benedict mengunjungi berbagai budaya pada tahun 1930an dan mendeskripsikan bagaimana kebudayaan-kebudayaan itu sama dan berbeda satu dari yang lainnya.
Tujuan dari teori sosiokultural adalah menjelaskan bagaimana mental seorang individu berhubungan dengan budaya, institusi, dan konteks historis; dimana fokus dari perspektif sosiokultural adalah pada pentingnya interaksi sosial dan aktivitas yang berdasarkan kebudayaan berpengaruh pada perkembangan psikologis.
Sementara banyak kerangka kerja untuk teori sosial budaya dikemukakan oleh Lev Vygotsky (1931/1997), ekstensi, elaborasi, dan perbaikan teori sosial budaya dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan mengenai teori kegiatan (Chaiklin & Love, 1993; Leontiev, 1981) dan teori aktivitas budaya -sejarah (Cole, 1996; Cole & Engestrom, 1994).
Menurut Vygotsky perkembangan kognisi seorang anak dapat terjadi melalui kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang lainnya. Perkembangan anak terjadi dalam budaya dan terus berkembang sepanjang hidupnya dengan berkolaborasi dengan yang lain. Dari perspektif ini para penganut aliran sosiokultural berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin menilai seseorang tanpa mempertimbangkan orang-orang penting di lingkungannya. Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham dengan konsep yang diajukan Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Ia menekankan bahwa proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran dengan orang–orang yang ada di lingkungan sosialnya. Selain itu ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.
Bahasan sosiokultural yakni grup etnik, identitas etnik, dan identitas gender. Grup etnik adalah kumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, biasanya berasal dari negara atau area tertentu.
Identitas grup tertuju pada rasa kesertaan dalam sebuah grup etnik dan rasa kepemilikan terhadap komponen-komponen seperti kepercayaan, sikap, kebiasaan, musik, upacara, dan ketertarikan pada hal-hal tertentu. Pada umumnya, bagian atau anggota dari grup etnik minoritas sebuah negara juga memiliki sejarah diskriminasi dan pendudukan oleh grup etnik yang lebih berkuasa.
Identitas gender adalah sudut pandang seseorang tentang orientasinya sebagai perempuan ataupun laki-laki.
Perspektif sosiokultural mengangkat relativitas kultural. Manusia cenderung lebih meninggikan budaya tertentu di atas budaya yang lainnya, namun perspektif ini lebih menekankan bahwa kebudayaan, grup etnik, gender, dan orientasi seksual, adalah berbeda satu sama lain. Semua hal tersebut berbeda dalam arti beragam dan bukan berbeda dalam arti tingkatan. Lebih lagi, ditekankan juga agar manusia memanfaatkan semua keragaman tersebut sebagai sumber ide baru dan cara untuk menghadapi tuntutan hidup.
Setelah semua perbedaan antarbudaya, bahkan ada pula perbedaan dalam suatu kelompok budaya tertentu. Dalam perspektif sosiokultural juga dikatakan bahwa tidak semua anggota dari etnik grup, ataupun gender adalah sama. Sebagai contoh, orang Asia, ada yang berfisik tinggi, ada yang berfisik lebih rendah; ada yang lebih menguasai bidang tertentu, ada yang lebih menguasai ilmu lainnya. Kesamaan itu juga benar pada beberapa grup. Terkadang juga ditemukan lebih banyak perbedaan karakteristik (nilai moral yang dianut, ketertarikan pada jenis musik tertentu, kedisiplinan, atau kemampuan bersaing) di antara orang-orang dalam suatu grup daripada perbedaan anatargrup.
Perspektif sosiokultural telah menjadi penting dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dikarenakan pemanfaatannya oleh para psikolog yang berperan sebagai penasehat bagi perusahaan berbasis internasional. Diperlukan pengertian yang baik tentang perbedaan kebudayaan untuk membangun hubungan kerja antarmanusia dan bisnis dengan orang-orang berbudaya lain. Sebagai contoh, pengusaha Amerika akan menandatangani kontrak segera setelah mereka bertukar persetujuan, sementara hal tersebut dianggap tidak sopan oleh pengusaha Cina.
 Faktor Sosiokultural dalam Sejarah Psikologi
Psikologi mulai berkembang sekitar abad 19, dimana ketika itu para pria kulit putih memiliki andil besar dalam hal kepemimpinan, para wanita kulit putih memiliki tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga, dan orang-orang berkulit hitam ditempatkan sebagai pekerja bagi orang-orang kulit putih. Walaupun pada masa sekarang hal ini sudah jarang, namun keberadaannya sangatlah nampak pada tahun 1890an.
Pada masa-masa itu, para pria mendominasi selama 75 tahun pertama era profesi. Andil wanita dalam perkembangan psikologi masih sedikit karena adanya masalah diskriminasi yang menjadi hambatan bagi kontribusi mereka. Sebut saja Christine Ladd-Franklin yang menyelesaikan program doktornya untuk psikologi di Universitas Johns Hopkins pada tahun 1882, namun walaupun begitu, beliau tidak diberikan gelar karena pada saat itu Universitas Johns Hopkins adalah institusi bagi para pria dan mereka tidak akan memberikan gelar kepada para wanita.
Di awal perjalanan psikologi, bahkan wanita-wanita dengan kualifikasi yang baik sulit untuk mendapat pengakuan sebagai seseorang yang telah menyelesaikan program studinya. Walaupun mereka mendapat pelatihan, para wanita ini sangat jarang mendapat kesempatan untuk mengajar bahkan mengembangkan kemampuan mereka di institusi pria yang memiliki laboratorium dengan peralatan terbaik.
Para wanita yang berhasil menjadi asisten profesor ataupun yang lainnya adalah wanita yang tidak menikah. Saat pada akhirnya para wanita memutuskan untuk menikah, karir mereka akan segera berakhir dikarenakan banyaknya peran yang harus mereka sandang sebagai wanita yang telah berkeluarga.
Selain Christine Ladd-Franklin, wanita lain yang bernasib sama adalah Mary Whiton Calkins. Beliau juga menyelesaikan studinya untuk gelar Ph.D di Universitas Harvard pada akhir 1800an, namun Harvard tidak pernah mengeluarkan gelar baginya.
Ketidakadilan serupa juga terjadi pada mereka yang merupakan keturunan Afrika-Amerika, Latinos, dan etnik minoritas lainnya. Banyak dari mereka yang berhasil memberikan kontribusi dalam ilmu ini dan bahkan berhasil meruntuhkan ketidakadilan terhadap mereka. Orang pertama dari keturunan Afrika-Amerika yang berhasil mendapat gelar Ph.D dan menyandang sebutan profesor di Amerika Serikat adalah Gilbert Jones. Inez Prosser adalah wanita pertama keturunan Afrika-Amerika yang mendapat gelar Ph.D di bidang psikologi di Amerika Serikat. Prosser mendapat gelar magisternya dan mengajar selama beberapa tahun sebelum menerima gelar Ph.D di tahun 1933 dari Universitas Cincinnati. Sayangnya, beliau tewas dalam kecelakaan mobil tak lama setelah mendapat gelarnya.
Walaupun lulusan psikologi pada masa sekarang didominasi oleh wanita, namun tetap saja para pria lebih mendominasi dalam pekerjaaan profesional dan dalam hal posisi/jabatan. Sangatlah penting untuk mengevaluasi kembali dan memastikan para psikolog wanita mendapat bayaran sesuai dengan pekerjaan yang telah mereka lakukan, dan banyak lagi yang harus ditingkatkan dalam hal memfasilitasi masa cuti misalnya cuti melahirkan dan lainnya bagi wanita yang berkarir dalam bidang psikologi.
 Psikologi Evolusioner 
Perspektif ini didasarkan pada ide Charles Darwin tentang teori evolusi. Pada tahun 1859 Darwin mempublikasikan bukunya yang berjudul The Origin of Species, dimana beliau brependapat bahwa makhluk hidup yang ada pada masa sekarang merupakan hasil dari seleksi alam. Walaupun Darwin menyatakannya lama sebelum mekanisme penurunan genetik ada, beliau berhipotesa bahwa variasi makhluk hidup terjadi selama proses reproduksi. Kini, variasi tersebut dikenal dengan perubahan dalam gen, yang disebut mutasi. Seperti halnya jika mutasi menghasilkan variasi yakni bulu merah pada dada burung jantan. Bulu merah tersebut secara tidak sengaja akan menjadi faktor penarik bagi burung betina. Secara tidak langsung, hal tersebut akan mengakibatkan gen bulu merah menjadi lebih stabil dan alhasil, keturunan yang dihasilkan akan didominasi oleh bulu merah, sedangkan burung tanpa bulu merah akan ‘kalah’ dalam persaingan reproduksi.
Para psikolog evolusioner percaya bahwa kunci untuk memahami karakteristik psikologi terdapat pada masa lalu evolusioner. Mereka berpendapat bahwakarakteristik terpenting kita muncul dari mutasi yang membuat manusia menjadi lebih ‘tangguh’ dan dapat bertahan. Manusia dikatakan belajar dari pengalaman dan dari pengalaman itulah manusia dapat bertahan. Para psikolog evolusioner juga percaya bahwa sebagian besar dari karakteristik psikologis penting terbentuk dari proses seleksi alam. Dapat dikatakan juga psikologi evolusioner adalah bentuk modern dari aliran fungsionalisme yang menyatakan bahwa tingkah laku maupun keberadaan manusia sekarang merupakan hasil dari adaptasi.
 Psikologi Positif
Pada akhir 1990an, Martin Seligman mengusulkan sebuah revolusi dalam psikologi. Beliau meminta para psikolog untuk tidak hanya membahas dan menelaah tentang problema manusia, seperti stres dan depresi, agar mereka juga dapat mempelajari apa sisi baik dari hidup manusia. Banyak psikolog yang telah memulai untuk mempelajari aspek positif dari hidup manusia bahkan sebelum Seligman mengemukakan idenya tentang ‘psikologi positif’, namun Seligman memberi udara segar dan energi baru pada bidang kesehatan dan kebahagiaan psikologis.
Positif psikologi membahas tentang hal-hal positif dari hidup manusia, seperti inteligensi, dimana fokusnya ada pada para individual dengan inteligensi di atas rata-rata, bagaimana manusia bahagia dengan hidupnya pada topik emosi, dan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar