Perspektif Neuroscience
Menurut
perspektif neuroscience, otak berperan dalam mengatur emosi, penalaran,
berbicara, dan proses psikologis lainnya. Perspektif neuroscience dikembangkan
oleh Santiago Ramon y Cajal yang memberikan deskripsinya tentang neuron.
Pernyataannya bahwa otak terdiri atas jaringan interaksi sel-sel neuron,
menjadi dasar bagi pemahaman modern dari peran otak dalam psikologi.
Perspektif
neuroscience akan melihat penyebab tingkah laku abnormal pada seseorang,
terutama dari ‘dalam’ individu tersebut. Perspektif ini akan berkonsentrasi
pada cara kerja otak dan sistem tubuh lainnya dan bagaimana hal-hal tersebut
mempengaruhi tingkah laku. Dapat dikatakan bahwa perspektif neuroscience adalah
koneksi anatara pikiran dan tubuh. Sama halnya dengan yang dikatakan oleh
ilmuan neuroscience, bahwa substansi kimia membawa rangsangan dalam bentuk
pesan dalam sistem saraf dari neuron satu ke yang lain, dan mereka menemukan
bagaimana obat-obatan seperti kokain dan marijuana, dapat mengganggu pola pikir
dan tingkah laku seseorang.
Perspektif Sosiokultural
Perspektif
sosiokultural modern muncul dari bahasan antropologi sosial. Margaret Mead dan
Ruth Benedict mengunjungi berbagai budaya pada tahun 1930an dan mendeskripsikan
bagaimana kebudayaan-kebudayaan itu sama dan berbeda satu dari yang lainnya.
Tujuan
dari teori sosiokultural adalah menjelaskan bagaimana mental seorang individu
berhubungan dengan budaya, institusi, dan konteks historis; dimana fokus dari
perspektif sosiokultural adalah pada pentingnya interaksi sosial dan aktivitas
yang berdasarkan kebudayaan berpengaruh pada perkembangan psikologis.
Sementara banyak kerangka kerja
untuk teori sosial budaya dikemukakan oleh Lev Vygotsky (1931/1997), ekstensi,
elaborasi, dan perbaikan teori sosial budaya dapat ditemukan dalam
tulisan-tulisan mengenai teori kegiatan (Chaiklin & Love, 1993; Leontiev,
1981) dan teori aktivitas budaya -sejarah (Cole, 1996; Cole & Engestrom,
1994).
Menurut
Vygotsky perkembangan kognisi seorang anak dapat terjadi melalui kolaborasi
antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang lainnya. Perkembangan
anak terjadi dalam budaya dan terus berkembang sepanjang hidupnya dengan
berkolaborasi dengan yang lain. Dari perspektif ini para penganut aliran
sosiokultural berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin menilai seseorang tanpa
mempertimbangkan orang-orang penting di lingkungannya. Banyak ahli psikologi
perkembangan yang sepaham dengan konsep yang diajukan Vygotsky. Teorinya yang
menjelaskan tentang potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak
terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Ia menekankan bahwa
proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran
melibatkan pembelajaran dengan orang–orang yang ada di lingkungan sosialnya.
Selain itu ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan
bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.
Bahasan
sosiokultural yakni grup etnik, identitas etnik, dan identitas gender. Grup
etnik adalah kumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, biasanya
berasal dari negara atau area tertentu.
Identitas
grup tertuju pada rasa kesertaan dalam sebuah grup etnik dan rasa kepemilikan
terhadap komponen-komponen seperti kepercayaan, sikap, kebiasaan, musik,
upacara, dan ketertarikan pada hal-hal tertentu. Pada umumnya, bagian atau
anggota dari grup etnik minoritas sebuah negara juga memiliki sejarah
diskriminasi dan pendudukan oleh grup etnik yang lebih berkuasa.
Identitas
gender adalah sudut pandang seseorang tentang orientasinya sebagai perempuan
ataupun laki-laki.
Perspektif
sosiokultural mengangkat relativitas kultural. Manusia cenderung lebih
meninggikan budaya tertentu di atas budaya yang lainnya, namun perspektif ini
lebih menekankan bahwa kebudayaan, grup etnik, gender, dan orientasi seksual,
adalah berbeda satu sama lain. Semua hal tersebut berbeda dalam arti beragam
dan bukan berbeda dalam arti tingkatan. Lebih lagi, ditekankan juga agar
manusia memanfaatkan semua keragaman tersebut sebagai sumber ide baru dan cara
untuk menghadapi tuntutan hidup.
Setelah
semua perbedaan antarbudaya, bahkan ada pula perbedaan dalam suatu kelompok
budaya tertentu. Dalam perspektif sosiokultural juga dikatakan bahwa tidak
semua anggota dari etnik grup, ataupun gender adalah sama. Sebagai contoh,
orang Asia, ada yang berfisik tinggi, ada yang berfisik lebih rendah; ada yang
lebih menguasai bidang tertentu, ada yang lebih menguasai ilmu lainnya. Kesamaan
itu juga benar pada beberapa grup. Terkadang juga ditemukan lebih banyak
perbedaan karakteristik (nilai moral yang dianut, ketertarikan pada jenis musik
tertentu, kedisiplinan, atau kemampuan bersaing) di antara orang-orang dalam suatu
grup daripada perbedaan anatargrup.
Perspektif
sosiokultural telah menjadi penting dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini
dikarenakan pemanfaatannya oleh para psikolog yang berperan sebagai penasehat
bagi perusahaan berbasis internasional. Diperlukan pengertian yang baik tentang
perbedaan kebudayaan untuk membangun hubungan kerja antarmanusia dan bisnis
dengan orang-orang berbudaya lain. Sebagai contoh, pengusaha Amerika akan
menandatangani kontrak segera setelah mereka bertukar persetujuan, sementara
hal tersebut dianggap tidak sopan oleh pengusaha Cina.
Faktor Sosiokultural dalam Sejarah Psikologi
Psikologi
mulai berkembang sekitar abad 19, dimana ketika itu para pria kulit putih
memiliki andil besar dalam hal kepemimpinan, para wanita kulit putih memiliki
tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga, dan orang-orang berkulit hitam
ditempatkan sebagai pekerja bagi orang-orang kulit putih. Walaupun pada masa
sekarang hal ini sudah jarang, namun keberadaannya sangatlah nampak pada tahun
1890an.
Pada
masa-masa itu, para pria mendominasi selama 75 tahun pertama era profesi. Andil
wanita dalam perkembangan psikologi masih sedikit karena adanya masalah
diskriminasi yang menjadi hambatan bagi kontribusi mereka. Sebut saja Christine
Ladd-Franklin yang menyelesaikan program doktornya untuk psikologi di
Universitas Johns Hopkins pada tahun 1882, namun walaupun begitu, beliau tidak
diberikan gelar karena pada saat itu Universitas Johns Hopkins adalah institusi
bagi para pria dan mereka tidak akan memberikan gelar kepada para wanita.
Di
awal perjalanan psikologi, bahkan wanita-wanita dengan kualifikasi yang baik
sulit untuk mendapat pengakuan sebagai seseorang yang telah menyelesaikan
program studinya. Walaupun mereka mendapat pelatihan, para wanita ini sangat
jarang mendapat kesempatan untuk mengajar bahkan mengembangkan kemampuan mereka
di institusi pria yang memiliki laboratorium dengan peralatan terbaik.
Para
wanita yang berhasil menjadi asisten profesor ataupun yang lainnya adalah
wanita yang tidak menikah. Saat pada akhirnya para wanita memutuskan untuk
menikah, karir mereka akan segera berakhir dikarenakan banyaknya peran yang
harus mereka sandang sebagai wanita yang telah berkeluarga.
Selain
Christine Ladd-Franklin, wanita lain yang bernasib sama adalah Mary Whiton
Calkins. Beliau juga menyelesaikan studinya untuk gelar Ph.D di Universitas
Harvard pada akhir 1800an, namun Harvard tidak pernah mengeluarkan gelar
baginya.
Ketidakadilan
serupa juga terjadi pada mereka yang merupakan keturunan Afrika-Amerika,
Latinos, dan etnik minoritas lainnya. Banyak dari mereka yang berhasil
memberikan kontribusi dalam ilmu ini dan bahkan berhasil meruntuhkan
ketidakadilan terhadap mereka. Orang pertama dari keturunan Afrika-Amerika yang
berhasil mendapat gelar Ph.D dan menyandang sebutan profesor di Amerika Serikat
adalah Gilbert Jones. Inez Prosser adalah wanita pertama keturunan
Afrika-Amerika yang mendapat gelar Ph.D di bidang psikologi di Amerika Serikat.
Prosser mendapat gelar magisternya dan mengajar selama beberapa tahun sebelum
menerima gelar Ph.D di tahun 1933 dari Universitas Cincinnati. Sayangnya,
beliau tewas dalam kecelakaan mobil tak lama setelah mendapat gelarnya.
Walaupun
lulusan psikologi pada masa sekarang didominasi oleh wanita, namun tetap saja
para pria lebih mendominasi dalam pekerjaaan profesional dan dalam hal
posisi/jabatan. Sangatlah penting untuk mengevaluasi kembali dan memastikan
para psikolog wanita mendapat bayaran sesuai dengan pekerjaan yang telah mereka
lakukan, dan banyak lagi yang harus ditingkatkan dalam hal memfasilitasi masa
cuti misalnya cuti melahirkan dan lainnya bagi wanita yang berkarir dalam
bidang psikologi.
Psikologi Evolusioner
Perspektif
ini didasarkan pada ide Charles Darwin tentang teori evolusi. Pada tahun 1859
Darwin mempublikasikan bukunya yang berjudul The Origin of Species, dimana beliau brependapat bahwa makhluk
hidup yang ada pada masa sekarang merupakan hasil dari seleksi alam. Walaupun
Darwin menyatakannya lama sebelum mekanisme penurunan genetik ada, beliau
berhipotesa bahwa variasi makhluk hidup terjadi selama proses reproduksi. Kini,
variasi tersebut dikenal dengan perubahan dalam gen, yang disebut mutasi.
Seperti halnya jika mutasi menghasilkan variasi yakni bulu merah pada dada
burung jantan. Bulu merah tersebut secara tidak sengaja akan menjadi faktor
penarik bagi burung betina. Secara tidak langsung, hal tersebut akan
mengakibatkan gen bulu merah menjadi lebih stabil dan alhasil, keturunan yang
dihasilkan akan didominasi oleh bulu merah, sedangkan burung tanpa bulu merah
akan ‘kalah’ dalam persaingan reproduksi.
Para
psikolog evolusioner percaya bahwa kunci untuk memahami karakteristik psikologi
terdapat pada masa lalu evolusioner. Mereka berpendapat bahwakarakteristik
terpenting kita muncul dari mutasi yang membuat manusia menjadi lebih ‘tangguh’
dan dapat bertahan. Manusia dikatakan belajar dari pengalaman dan dari
pengalaman itulah manusia dapat bertahan. Para psikolog evolusioner juga
percaya bahwa sebagian besar dari karakteristik psikologis penting terbentuk
dari proses seleksi alam. Dapat dikatakan juga psikologi evolusioner adalah
bentuk modern dari aliran fungsionalisme yang menyatakan bahwa tingkah laku maupun
keberadaan manusia sekarang merupakan hasil dari adaptasi.
Psikologi Positif
Pada
akhir 1990an, Martin Seligman mengusulkan sebuah revolusi dalam psikologi.
Beliau meminta para psikolog untuk tidak hanya membahas dan menelaah tentang problema
manusia, seperti stres dan depresi, agar mereka juga dapat mempelajari apa sisi
baik dari hidup manusia. Banyak psikolog yang telah memulai untuk mempelajari
aspek positif dari hidup manusia bahkan sebelum Seligman mengemukakan idenya
tentang ‘psikologi positif’, namun Seligman memberi udara segar dan energi baru
pada bidang kesehatan dan kebahagiaan psikologis.
Positif
psikologi membahas tentang hal-hal positif dari hidup manusia, seperti inteligensi,
dimana fokusnya ada pada para individual dengan inteligensi di atas rata-rata,
bagaimana manusia bahagia dengan hidupnya pada topik emosi, dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar