A.
Pondasi
Perkembangan Psikososial
Saat
para bayi berbagi pola perkembangan yag sama, mereka juga dari awal menunjukkan
ragam kepribadin yang berbeda, yang merefleksikan pengaruh bawaan atau
lingkungan.
Emosi
Emosi
adalah reaksi subjektif terhadap pengalaman yang diasosiasikan dengan perubahan
psikologis dan perilaku. Misalnya, diiringi dengan detak jantung yang semakin
cepat, dan, sering kali, tindakan melindungi diri.Teori pembelajaran
menjelaskan perkembangan ini sebagai hasil dari pengkondisian.
Dalam
memandu dan mengatur perilaku, emosi melaksanakan beberapa fungsi protektif.
Salah satu fungsi tersebut adalah mengkomunikasikan kebutuhan, niat atau
hasrat, dan memunculkan respon. Fungsi komunikasi ini merupakan inti
perkembangan hubungan social dan khususnya penting bagi bayi, yang harus
tergantung pada orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Fungsi
protektif kedua yang dipenuhi oleh emosi seperti rasa takut dan terkejut
digunakan untuk memobilisasi tindakan dalam waktu darurat. Fungsi ketiga
ketertarikan dan kegembiraan, adalah mempromosikan eksplorasi lingkungan, yang
bermuara pada pembelajaran yang dapat mempertahankan dan menjaga nyawa
Emosi
sangat erat berkaitan dengan aspek perkembangan yang lain. Misalnya, seorang
bayi yang baru lahir yang di acuhkan secara emosional-tidak di peluk, disayang,
atau tak di ajak bicara akan menunjukkan kegagalan tumbuh nonorganik, yaitu
kegagalan untuk tumbuh dan mendapatkan berat badan yang seharusnya.
Pokok-pokok
perembangan psikososial bayi dan batita, dari lahir hingga 36 bulan.
0
- 3
|
Mereka
mulai menunjukkan ketertarikan dan keingintahuan, dan mereka mulai tersenyum
kepada orang – orang.
|
3
- 6
|
Saat
ini adalah waktu terbangunnya perasaan social dan pertukaran resiprokal awal antara
bayi dan pengasuh.
|
6-9
|
Mereka
mengeksperesikan emosi yang lebih banyak, menunjukkan perasaan marah,
gembira, takut, dan terkejut.
|
9-12
|
Pada
usia satu tahun, mereka akan mengomunikasikan emosinya secara lebih jelas,
dengan menunjukkan perasaan, ambivalensi, dan gradasi perasaan.
|
12
– 18
|
toddler
mengeksplorasi lingkungannya dengan menggunakan orang – orang tempat mereka
paling banyak mengikatkan diri sebagai landasan pengaman. Setelah mereka
menguasai lingkungannya maka mereka akan menjadi semakin percaya diri dan
lebih bersemangat untuk menilai diri mereka sendiri.
|
18-36
|
Mereka
mengatasi kesadaran akan keterbatasan mereka, dapat bermain dan berfantasi
dengan mengidentifikasinya kepada orang dewasa.
|
Tanda emosi pertama
Bayi
yang baru lahir menunjukkan ketidaksenangan mereka dengan cara sederhana
seperti, mengeluarkan tangis yang memekakkan telinga, menendang-nendangkan
tangan dan kaki, serta mengejangkan tubuh mereka.Sinyal atau isyarat awal
terhadap perasaan bayi ini merupakan langkah penting dalam perkembangan. Ketika
si bayi menginginkan atau membutuhkan sesuatu, dia akan menangis; ketika ia
merasa nyaman (sociable) ia akan tersenyum atau tertawa.
Makna
dari sinyal emosional bayi berubah-ubah. Awalnya, menangis menunjukkan
ketidaknyamanan fisik; namun dikemudian hari, menangis lebih sering bentuk
ekspresi tekanan psikilogis. Senyum di masa awal muncul secara spontan sebagai
ekspresi keberadaannya; pada usia sekitar 3 sampai 6 minggu, senyuman
menandakan kenyamanan dalam kontak social. Dengan bertambahnya umur si bayi,
senyuman dan tawa pada situasi yang baru atau tidak tepat merefleksikan
peningkatan kesadaraan kognitif dan pertumbuhan kemampuan utuk menangani
kegembiraan (sroufe, 1997).
Menangis
Menangis
adalah cara paling ampuh dan terkadang merupakan satu-satunya cara bayi untuk
mengkomuikasikan kebutuhan mereka. Empat pola tangisan, Tangisan lapar (hunger
cry) yaitu tangisan ritmis yang tidak selalu di asosiasikan dengan rasa lapar;
Tangian marah (pain cry) yaitu tangisan kera yang terjadi tiba-tiba tanpa ada
isakan pendahuluan, terkadang di ikuti dengan penahanan napas; dan tngis
frustasi; (frustration cry) (dua atau tiga tangisan “keing”, tanpa di ikuti
dengan segukan).
Sebagian
orang tua khawair mereka akan memanjakan akan jika menggendong bayi yang
menangis. Salah satu studi, penundaan merespon kecerewetan memang tampaknya
mengurangi sikap cerewet tersebut pada enam bulan pertama, mungkin dikarenakan
si bayi belajar untuk menghadapi iritasi minor seorang diri (Hubbard & van
Ijzendoorn 1991). Tetapi, jika orang tua menunggu sampai tangisan tersebut
berubah menjadi pekikan kemarahan, maka akan sulit untuk menenangkan bayi; jika
dilakukan berulang kali, dapat mengganggu perembangan kemampuan bayi untuk
mengatur kondisi emosionalnya. Pendekatan yang baik untuk perkembangan adalah
yang di anut oleh orang tua Catherin Betson: mencegah rasa tertekan sehingga
penenangan tidak dibutuhkan.
Tersenyum dan tertawa
Senyuman
awal muncul setelah kelahiran, yang merupakan hasil dari aktivitas sistem saraf
subkorikal. Senyuman ini akan semakin jarang karena matangnya korteks. Senyum
sadar (waking smile) paling awal dapat diperoleh melalui sensasi lembut,
seperti bunyi – bunyian lembut atau tiupan kepada kulit bayi. Minggu kedua,
bayi dapat tersenyum mengantuk setelah menyusu. Minggu ketiga, sebagian besar
bayi akan tersenyum ketika mereka siaga dan memerhatikan suara dan anggukan
suara pengasuhnya. Bulan kedua, pengenalan visual berkembang, dan bayi akan
tersenyum lebih banyak seperti, wajah
yang mereka kenali.
Empat
bulan, bayi mulai mengeluarkan tawa ketika perutnya dicium. Bayi berusia enam
bulan ibunya yang tampil dengan seluruh wajah ditutupi handuk,. Pada usia sepuluh
bulan, bayi akan berusaha mengembalikan handuk tersebut ke wajah ibunya sambil
tertawa. Perubahan ini mencerminkan perubahan kognitif.
Kapan emosi muncul?
Emosi tersebut akan muncul ketika
usia bayi tersebut menunjukkan emosi tertentu. Mengidentifikasi emosi bayi
merupakan sebuah tantangan, karena mereka tidak dapat mengatakan kepada kita
apa yang mereka rasakan.Misalnya, carol izard dan para koleganya merekam
ekspresi wajah bayi dan menginterpretasikan mereka sedang menunjukkan
kegembiraan, kesedihan, ketertarikan, ketakutan, dan tingkat kemarahan yang
lebih rendah,terkejut, dan sikap acuh.wajah bukan satu – satunya isyarat emosi
bayi. Aktivitas, bahasa tubuh, dan perubahan psikologis juga merupakan
indikator penting. Misalnya, seorang bayi dapat merasakan takut tanpa
menunjukkan ‘’wajah ketakutan’’. Mereka dapat menunjukkannya dengan menjauh
atau menolak untuk melihat, atau dengan detak jantung yang semakin cepat, dan
semua inin tidak harus muncul dalam waktu bersamaan. Kriteria yang berbeda akan
menunjukkan kesimpulan yang berbeda tentang kemunculan emosi tersebut.
Emosi dasar
Bayi yang baru lahir menunjukkan
sinyal kegembiraan, ketertarikan, dan ketertekanan. Perbedaan emosi sepanjang
tiga tahun pertama. Emosi utama muncul pada enam bulan pertama atau setelahnya.
Emosi akan kesadaran diri mulai berkembang pada paruh kedua tahun kedua,
sebagai akibat dari kemunculan kesadaran diri bersama dengan akumulasi
pengetahuan tentang standard dan aturan sosial. Ada dua bentuk rasa malu.
Bentuk yang pertama, tidak mengandung evaluasi perilaku dan lebih karena objek
tunggal perhatian. Yang kedua yaitu, rasa malu evaluasi, yang muncul sepanjang
tahun ketiga, adalah bentuk lebih lembut dari rasa malu.
Emosi yang melibatkan diri
Emosi kesadaran diri (self
conscious), seperti rasa malu, dan iri, baru muncul setelah si
anak mengembangkan pemahaman diri ( self awareness). Pemahaman diri merupakan
keharusan bagi seorang anak sebelum ia menyadari bahwa dirinya menjadi fokus
perhatian.
Rasa bersalah dan rasa malu adalah
dua emosi yang berbeda, walaupun keduanya sama – sama merupakan respon terhadap
perilaku yang salah. Fokus mereka adalah perilaku yang buruk, bukan diri yang
buruk. Seorang anak yang merasa bersalah akan mencoba untuk membuat perbaikan
kecil. Misalnya, seorang anak yang memecahkan piring, ia akan mencoba
menyatukan belahan piring tersebut, sedangkan seorang anak yang merasa malu
akan lebih cenderung untuk mencoba menyembunyikan perilaku yang salah tersebut.
Empati
Empati
adalah kemampuan untuk memosisikan diri pada posisi orang lain dan merasakan
apa yang dirasakan oleh orang lain. Empati berbeda dengan simpati yang hanya
melibatkan keprihatinan atau perhatian terhadap penderitaan orang lain. Baik
empati maupun simpati cenderunguntuk diikuti oleh prosocial behavior(perilaku
sosial) seperti mengembalikan mainan yang dirampasnya.
Empati
bergantung pada kognisi social, kemampuan
kognitif untuk memahami bahwa orang lain juga memiliki kondisi mental
dan kemampuan untuk mengukur perasaan dan perhatian mereka.
Pertumbuhan otak dan perkembangan
emosional
Pertumbuhan
otak setelah lahir berkaitan erat dengan perubahan emosi. Seorang bayi yang
baru lahir hanya memiliki indra kesadaran yang menyebar dan sangat mudah
dioverstimulasi dan dibuat kecewa dengan suara, cahaya, dan sumber perangsang
sensor lainnya. Dengan berkembangnya sisten syaraf pusat dan jalur syaraf
semakin termilenasi, reaksi bayi menjadi semakin focus dan tenang, atau
seimbang. Pemrosesan sensoris semakin kurang refleksif seiring dengan mulai
berfungsinya korteks. Ini adalah proses dua arah, pengalaman emosional bukan
hanya dipengaruhi oleh perkembangan otak tapi juga memiliki efek abadi pada
struktur otak.
Terdapat empat perubahan utama dalam
organisasi otak, yang tampaknya berhubungan secara langsung dengan perubahan
dalam pemrosesan emosi. Tiga bulan pertama, ketika selebral korteks mulai
berfungsi, terjadi pemilihan emosi dasar. Perubahan kedua terjadi sekitar 9
atau 10 bulan, ketika lobus l frontal mulai berinteraksi dengan sistem
limbic, tempat reaksi emosional. Saat yang bersamaan, struktur limbic seperti hypocampus. Semakin membesar dan semakin
mirip dengan yang dimiliki oleh orang dewasa. Hubungan antara kortek frontal
dan hypothalamus serta sistem limbic, dapat memfasilitasi hubungan antara belahan
kognitif dan emosional seiring dengan semakin padat dan rumitnya hubungan ini
seorang bayi dapat merasakan dan menerjemahkan emosi pada saat yang bersamaan .
Perubahan
ketiga terjadi pada tahun ke 2, ketika si bayi mengembangkan pengembangan diri,
emosi kesadaran diri, dan kemampuan yang lebih besar untuk mengatur emosi dan
aktifitas mereka sendiri. Berbagai perubahan ini, yang di iringi dengan
mobilitas fisik yang besar dan perilaku eksplorasi, bisa jadi berkaitan dengan
meilinasi lobus frontal. Dan perubahan ke 4 terjadi pada usia 3 tahun, ketika
perubahan hormonal dalam sistem sarat otomatis beriringan dengan munculnya
emosi evaluasi.
Temperamen
Temperamen terkadang didefenisikan
sebagai karakteristik seseorang, cara mendasar biologis untuk mendekati dan
bereaksi terhadap orang dan situasi. Temperamen memiliki basis emosional; akan
tetapi ketika emosi seperti rasa takut, gembira, dan bosan dating dan pergi,
temperamen cenderung konsisten dan berkesinambungan. Perbedaan individual dalam
dalam temperamen, yang dianggap bersumber dari komposisi biologis, membentuk
inti perkembangan kepribadian—pola perasaan, pemikiran, dan perilaku yang
cenderung konsisten, dan membuat orang tersebut sebagai pribadi yang unik
(Eisenberg, Fabes, Guthrie, & Reiser, 2000).
Mempelajari Pola Temperamen
Tiga pola temperamental (merujuk pada
New York Longitudinal Study)
|
||
Anak dengan temperamen sedang (easy
children):
|
Anak dengan temperamen tinggi
(difficult children):
|
Anak dengan temperamen rendah (slow to
warm up children):
|
Memiliki perasaan dengan intensitas
lembut higga moderat, biasanya positif.
|
Sering dan intens menunjukkan perasaan
negative: sering menangis dengan suara keras: tertawa dengan keras
|
Memiliki reaksi dengan intensitas
ringan, baik positif maupun negative
|
Merespon sesuatu yang baru dan
perubahan dengan baik
|
Kurang baik dalam merespon sesuatu
yang baru dan perubahan
|
Merespon perubahan dan sesuatu yang
baru dengan lambat
|
Mengembangkan jadwal tidur dan makan
regular dengan cepat
|
Makan dan tidur tidak teratur
|
Tidur dan makan dengan keteraturan di
bawah anak temperamen sedang, namun di atas anak bertemperamen tinggi
|
Mudah menerima makanan baru
|
Lambat dalam menerima makanan baru
|
Menunjukkan respon awal negative
terhadap stimuli baru (pertemuan pertama dengan orang, tempat, atau situasi
baru
|
Tersenyum kepada orang asing
|
Curiga terhadap orang asing
|
|
Beradaptasi dengan mudah terhadap
situasi baru
|
Beradaptasi dengan lambat terhadap
situasi baru
|
|
Menerima perasaan frustasi dengan
sedikit pertengkaran
|
Bereaksi terhadap frustasi dan
kemarahan
|
|
Beradaptasi dengan cepat kepada
rutinitas baru dan peraturan permainan baru
|
Beradaptasi dengan lambat kepada
situasi baru
|
Secara gradual mengembangkan rasa suka
kepada stimuli baru setelah ditampakkan berulangkali dan tanpa paksaan
|
Dasar Biologis Tempramen
Dalam sebuah studi jangka panjang
terhadap 400 anak yang dimulai sejak usia bayi, Jerome Kagan dan para koleganya
telah mempelajari aspektemperamen yang disebut inhibition to the unfamiliar
(menahan diri dari yang asing), atau
rasa malu/ segan, yang memainkan peran dalam seberapa sosialnya seseorang anak
dengan anak lain yang asing dan seberapa berani atau berhati-hatinya anak
tersebut dalam mendekati objek dan situasi yang asing. Semua karekteristik ini
diasosiasikan dengan berbagai perbedaan dalam fitur fisik seperti warna mata,
dan dalam fungsi otak, sebagaimana pula yang direfleksikan dalam sinyal
psikologis seperti detak jantung, tekanan darah, dan dilatasi pupil. Ketika
diminta untuk memecahkan masalah atau mempelajari informasi baru, anak yang
penuh pemalu (sekitar 15% dari sampel) menunjukkan detak jantung yang lebih
tinggi dan kurang bervariasi ketimbang anak yang lebih berani, dan pupil mata
mereka juga lebih sering berdilatasi. Anak-anak yang paling berani (sekitar
10-15% dari sampel) cenderung energik dan spontan dan memiliki detak jantung
yang lebih rendah (Arcus & Kagan, 1995).
Bayi empat bulan yang sangat
reaktif,atau yang rewel dan menangis sebagai respon terhadap stimuli baru
cenderung menunjukkan pola terhambat pada usia 14-21 bulan. Bayi yang sangat
terhambat atau yang tidak terhambat sama sekali cenderung mempertahankan pola
ini hingga tingkat tertentu sepanjang masa kanak-kanak dan remajanya (Kagan,
1997; Kagan & Snidman, 1991a, 1991b). akan tetapi perbedaan perilaku antara
2 tipe anak ini cenderung “sejaar” pada masa praremaja, walaupun perbedaan
psikologis masih tetap ada (Woodward et all., 2001).
Sekali lagi, pengalaman dapat
memoderasi atau menguatkan kecenderungan awal. Batita laki-laki yang cenderung
takut dan pemalu cenderung tetap
demikian pada usia 3 tahun, terutama apabila orang tuanya menerima begitu saja
reaksi anak mereka. Tetapi jika orang tua mendorong anak mereka untuk
menjelajahi pengalaman baru, si anak tidak akan terlalu terhambat ( Park,
Belsky, Putnam, & Crni, 1997).
Dalam jangka panjang yang berdurasi
4 tahunan terhadap 153 bayi, mereka yang mengalami perubahan perilaku, dari
yang terhambat menjadi tidak terhambat menunjukkan pola aktifitas otak yang
berbeda disbanding dengan mereka yang tetap terhambat. Para bayi yang berubah
dalam temperamennya jugalebih cenderung memiliki pengasuh bukan orang tua pada
dua tahun pertama (Fox, Henderson, Rubin, Calkins, & Schmidt, 2001).
Perbedaan Lintas Kultur
Sebagaiman yang diamati oleh Mead,
temperamen dapat dipengaruhi oleh budaya yang memengaruhi praktik membesarkan
bayi. Bayi di Malaysia, sebuah Negara kepulauan di Asia Tenggara, cenderung
kurang beradaptasi, lebih cemas terhadap pengalaman baru, dan lebih sigap
merespon stimuli baru ketimbang bayi di AS. Hal ini mungkin disebabkan orang
tua di Malaysia jarang menghadapkan bayinya dalam situasi yang menuntut
kemampuan beradaptasi, dan mereka mendorong bayi untuk sangat mewaspadai
sensasi, seperti kebutuhan untuk mengganti popok (Banks, 1989).
Pengalaman Sosial Awal: Bayi di
Tengah Keluarga
Peran Ibu
Hal yang paling penting untuk
diketahui adalah bahwa menyusui bukanlah hal yang paling penting bayi dapatkan
dari ibu. Menjadi ibu berarti memberikan rasa nyaman melalui kontak tubuh ynag
dekat.
Peran Ayah
Di masa lalu, riset tentang
perkembangan psikososial bayi hany terfokus kepada ibu dan bayi. Akan tetapi,
pada masa ini para periset mempelajari hubungan antara bayi dan ayah mereka.
Peran ayah, sama seperti peran ibu, minumbulkan komitmen emosional, dan sering
kali keterlibatan langsung dalam merawat dan membesarkan anak. Akan tetapi,
karena keterlibatan ayah yang sanagat beragam, ibu masih menjadi pengasuh
utama.
Konsep gender tentang “ Apa artinya
menjadi laki-laki atau perempuan” dibentuk sejak masih bayi. Dimana ayah
merupakan pemeran utama dalam membentuk perbedaan gender pada anak mereka.
Pembentukan kepribadian anak laki-laki dan perempuan oleh orang tua tampak
sejak dini. Terutama ayah, mempromosikan gender typing, yaitu proses dimana
anak mempelajari tingkah laku yang dianggap pantas bagi mereka sesuai budaya
masing-masing.
Salah satu perbedaan dini dalam
tingkah laku antara laki-laki dan perempuan adalah muncul pada usia 1 dan 2
tahun dimana anak sudah memiliki preferensi terhadap mainan dan teman
bermainnya.
B.
Isu
Perkembangan pada Masa Bayi
Membangun Kepercayaan
Merujuk
pada Erikson (1950), pengalaman awal adalah kuncinya. Tahap perkembangan
psikososial pertama yang diidentifikasikan oleh erikson adalah kepercayaan
dasar vs ketidakpercayaan dasar (Basic trust vs basic mistrust). Tahap ini
dimulai ketika lahir dan terus berlangsung hingga 12-18 bulan. Pada masa awal
ini, bayi mengembangkan rasa ketergantungan kepada orang dan objek di dunia
mereka. Apabila rasa percaya lebih mendominasi, sebagaimana seharusnya, anak
akan mengembangkan “virtue” of hope: keyakinan bahwa mereka bisa memenuhi apa
yang mereka butuhkan dan yang mereka inginkan (Erikson, 1982). Apabila
ketidakpercayaan yang mendominasi, maka anak akan memandang dunia sebagai
sesuatu yang tidak bersahabat dan tidak dapat di prediksi dan akan memiliki
kesulitan dalam memulai hubungan.
Mengembangkan Keterikatan
Keterikatan
(Attachment) adalah ikatan emosional abadi dan resiprokal antara bayi dan
pengasuhnya, yang sama-sama memberikan kontribusi terhadap kualitas hubungan
pengasuh- bayi.
Mempelajari Pola Keterikatan
Mary
Ainsworth pertama kali mempelajari keterikatan pada wal 1950 bersama John
Bowlby berdasarkan studi etologis ikatan pada binatang dan observasi terhadap anak-anak
yang terganggu jiwanya di klinik psikonalitis London, Bowlby (1951) meyakini
nilai penting ikatan ibu-bayi. Beliau memberikan peringatan terhadap pemisahan
bayi dan ibu tanpa pengasuh pengganti yang baik.
Dari
hasil penelitian mereka tersebut mereka menemukan ada tiga pola keterikatan,
yaitu:
1. Dasar
rasa aman (secure base): penggunaan orang tua atau pengasuh dari lingkungan
keluarga oleh bayi sebagai titik awal eksplorasi dan tempat aman untuk kembali
secara periodis untuk mendapatkan dukungan emosional.
2. Keterikatan
yang dihindari (avodant attachment): pola dimana bayi jarang sekali manangis
ketika terpisah dari pengasuh dan menghindari kontak ketika pengasuh tersebut
kembali.
3. Keterikatan
yang ambigu (ambivalent attachment): pola dimana bayi menjadi gelisah sebelum
pengasuh utama pergi, menjadi amat sedih ketika pengasuh tersebut pergi, dan
bayi tersebut mencari sekaligus menolak untuk kontak dengan pengasuhnya ketika
kembali.
Riset
lainnya (Main & Solomon, 1986) telah mengidentifikasikan pola keempat,
yaitu keterikatan tak terorganisir dan tak terarah (disorganized disoriented attachment). Bayi dengan pola yang tak
terorganisir sering kali menunjukkan pola perilaku yang tidak konsisten dan
berlawanan.
Mereka
menyambut ibu mereka dengan gembira ketika si ibu kembali, namun kemudian
menjauh atau mendekati tanpa memandang kepadanya. Mereka tampak takut dan
bingung. Pola ini mungkin adalah pola dengan tingkat rasa aman paling rendah
dan mayoritas terjadi pada bayi dengan ibu yang kurang sensitif, intrusif, atau
melecehkan (Carlson, 1998). (Tabel 6-3 menggambarkan bagaimana biasanya bayi
dalam empat pola keterikatan bereaksi terhadap Situasi yang Asing).
Walaupun
banyak riset terhadap ketertarikan didasarkan kepada model Situasi Asing, akan
tetapi beberapa periset telah mempertanyakan validitasnya. Situasi Asing adalah
sesuatu yang asing; dan juga artifisial. Model tersebut meminta si ibu untuk
tidak memulai interaksi, menghadapkan bayi kepada datang-perginya seorang
dewasa yang dilakukan berulang-ulang, dan mengharapkan si bayi untuk memberikan
perhatian kepada mereka. Karena ketertarikan mempengaruhi perilaku dalam
cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan yang ada dalam Situasi Asing,
sebagian periset telah menuntut metode yang lebih komprehensif dan sensitif
untuk di ukur, salah satunya adalah bagaimana ibu dan bayi berinteraksi
sepanjang situasi yang natural dan tidak menekan.
Telah
dinyatakan bahwa model Situasi Asing sangat tidak sesuai diterapkan untuk
mempelajari keterikatan pada anak dengan ibu yang bekerja, karena anak anak ini
terbiasa dengan perpisahan dan kehadiran pengasuh lainnya. Akan tetapi,
perbandingan dari 1.153 bayi berusia 10 bulan yang lahir di sepuluh kota di
Amerika Serikat yang telah menerima beragam jumlah, tipe dan kualitas pengasuh
yang dimulai dari berbagai usia, menemukan, “tidak ada bukti … bahkan model
Situasi Asing tetap kurang valid jika digunakan bagi anak dengan pengalaman
pengasuh yang luas” (NICHD Early Child Care Research Network, 1997a, hlm. 867).
Situasi
Asing mungkin kurang valid dalam beberapa kultur non-Barat, yang memiliki
harapan yang berbeda terhadap interaksi bayi dengan sang ibu dan dimana sang
ibu menguatkan jenis perilaku yang berkaitan dengan keterikatan yang berbeda.
Riset yang dilakukan terhadap bayi Jepang, yang lebih jarang berpisah dengan
sang ibu dibandingkan dengan bayi AS, menunjukkan tingkat keterikatan yang
tinggi, yang dapat merefleksikan tingkat stress Situasi Asing bagi mereka
(Miyake, Chen & Campos, 1985).
Beberapa
periset mulai menggunakan model Situasi Asing dengan metode yang dapat
digunakan dalam setting alami. Dalam teknik Q-short,
para pengamat mengurutkan serangkaian kata atau frasa deskriptif (“banyak
menangis”; “cenderung lengket”) ke dalam kategori mulai dari karakteristik
terendah sampai terbanyak yang dimiliki seorang anak. Waters dan Deane (1985)
Attachment Q-set (AQS) mengharuskan ibu atau pengamat lain untuk membandingkan
deskripsi perilaku keseharian anak dengan deskripsi ahli mengenai “anak yang
paling aman secara hipotesis”. The Preschool Assessment of Attachment (PAA)
(Crittenden, 1993) mengukur keterikatan setelah usia 20 bulan, dengan
memasukkan hubungan prasekolah yang lebih kompleks serta kemapuan bahasa.
Dalam
studi lintas-kultur yang menggunakan AQS, para ibu di Cina, Colombia, Jerman,
Israel, Jepang, Norwegia, dan AS menggambarkan anak mereka lebih kapada “anak
yang paling aman”. Lebih jauh lagi, deskripsi para ibu terhadap perilaku yang
menjadi pondasi rasa aman mirip antara satu kultur dengan kultur lain. Karena itu,
kecenderungan untuk menggunakan ibu sebagai dasar rasa aman bisa jadi merupakan
sesuatu yang universal (Posada et al., 1995).
Bagaimana Keterikatan Terbentuk
Baik
ibu dan bayi memberikan kontribusi terhadap keamanan keterikatan dengan cara
mereka merespon satu dengan yang lain. Jelas, setiap aktivitas yang dilakukan
bayi yang menarik respon orang dewasa merupakan perilku mencari keterikatan (attachmentseeking behavior) : mengisap,
menangis, tersenyum, atau memandang mata sang pengasuh. Sebagaimana yang
diamati oleh Ainsworth (1969), pada usia 8 minggu, bayi mengarahkan perilaku
ini secara khusus kepada sang ibu merespons dengan hangat, memberikan ekspresi
gembira, dan sering kali memberikan kontak fisik kepada sang bayi serta
kebebasan untuk mengeksplorasi.
Walaupun
pola keterikatan yang mirip dapat ditemukan dalam kultur terpencil seperti
populasi suku dogon di Mali, Afrika Barat (true, Pisani & oumar,2001),
perilaku keterikatan berbeda dari satu kultur ke kultur yang lain. Di kalangan
suku Gusii Afrika Timur, di perbatasan barat Kenya, bayi disambut dengan
jabatan tangan, karena itu tingkat tindakan menggapai tangan orang tuanya
sebanyak bayi Barat yang duduk mendekat untuk mendapatkan sebuah pelukan ( Van
Izedoorn & Sagi, 1999).
Berbasis
interaksi bayi dengan sang ibu, kata ains worth dan Bowlby, si bayi membangun
“model kerja” berkenaan dengan apa yang dapat diharapkan dari si ibu. Beragam
pola keterikatan merepresentasikan respresentasi kognitif yang berbeda satu
dengan yang lain sebagai hasil dari harapan yang berbeda. Selama si ibu terus
bertindak demikian, maka model tersebut akan terus berlangsung. Apabila
perilaku sang ibu berubah- tidak hanya sekali tapi secara konstan si bayi
mungkin akan mengubah model tersebut dan keamanan keterikatan akan berubah.
Model kerja keterikatan bayi berkaitan dengan
konsep kepercayaan dasar Erikson. (Kesuksesan Margaret Mead dan Gregory Bateson
sebagai orang tua baru merefleksikan ketidakpercayaan. Bayi yang terikat secara
aman telah balajar untuk percaya bukan hanya terhadap para pengasuhnya tapi
juga kepada kemampuannya mendapatkan apa yang mereka inginkan. Bayi yang banyak
menangis, dan yang ibunya merespon dengan menenangkannya, cenderung memiliki
keterikatan yang aman (Del Carmen, Pedersen, Huffman, & Bryan, 1993).
Berlawanan
dengan temuan awal Ainsworth, bayi tampaknya membangun keterikatan kepada kedua
orang tuanya pada waktu yang bersamaan, dan tingkat keamanan attachment kepada ayah dan ibu biasanya
cenderung sama, sebagaimana yang terjadi dengan Cathy (Fox, Kimmerly, &
Schafer, 1991). Jika tidak, keterikatan yang aman terhadap salah seorang dari
kedua orang tua terkadang dapat mengimbangi keterikatan yang kurang aman
terhadap yang lain (Engle & Breaux, 1998; Verschueren & Marcoen, 1991).
Pengaruh-pengaruh Terhadap
Keterikatan
Mengapa
ada bayi yang menunjukkan keterikatan yang aman (secure attachment) sedangkan yang lain tidak? Alasannya mungkin
bukan masalah genetik, sebab kembar dizigotik yang memiliki keterikatan yang
sama dengan kembar monozigotik menunjukkan bahwa perlakuan orang tua bisa jadi
merupakan faktor penting. Jadi intinya terletak pada interaksi antara kualitas
hubungan dengan pengasuh dan komposisi emosional bayi.
Peran Temperamen
Beberapa
studi telah mengidendifikasikan level frustasi, jumlah tangisan, iritabilitas,
dan ketakutan sebagai prediktor keterikatan. Indikator seperti detak jantung
yang di asosiasikan dengan iritabilitas, mungkin merefleksikan kondisi
neurogikal dan psikologikal yang mendasarinya. Dan tempramen bayi dapat secara
tak langsung memengaruhi keterikatan melalui pengaruhnya terhadap orang tua.
Transmisi Lintas Generasi
Keterikatan Orang Tua
Cara
seorang ibu mengingat bagaimana keterikatannya kepada sang ibunya dapat
memprediksi bagaimana keterikatan anaknya kepada dirinya. Cara tersebut disebut
dengan Adult Attachment Interview
(AAI). Berarti sudah jelas bahwa cara orang dewasa mengingat pengalaman awal
dengan orang tua atau pengasuh memengaruhi cara mereka merespon anak anak
mereka. Dan seorang ibu yang memiliki keterikatan yang aman kepada ibunya
(ketika masa kanak-kanak) dapat mengenali perilaku keterikatan bayinya secara
akurat, memberikan respon yang mendorong dan membantu si bayi untuk membentuk
keterikatan yang aman kepada dirinya.
Efek Panjang Keterikatan
Semakin
aman keterikatan seoranga anak kepada orang dewasa yang mengasuhnya, maka
semakin mudah pada akhirnya si anak untuk independen dari orang dewasa
tersebut., seperti yang dilakukan oleh Cathy Bateson pada masa remaja dan
membangun hubungan yang baik dengan orang lain. Hubungan antara keterikatan
pada masa bayi dan karakteristik yang diamati beberapa tahun kemudian mendasari
kontinuitas perkembangan dan keterikatan antara berbagai aspeknya.
Apabila
seorang anak, berdasarkan pengalaman awal, memiliki harapan positif berkenaan
dengan kemampuan mereka untuk hidup bersama yang lain dan masuk dalam kehidupan
sosial untuk saling memberi dan menerima dan apabila mereka memikirkan diri
mereka dengan baik, maka mereka dapat membangun situasi sosial yang cenderung menguatkan
keyakinan tersebut dan memuaskan interaksi yang berasal darinya. Dan
sebagaimana bayi, apabila seorang anak miliki dasar yang kuat dan dapat
mengandalkan responsivitas orang tua atau pengasuh, maka mereka cenderung
merasa cukup percaya diri untuk terlibat secara aktif dalam dunia mereka.
Pada
usia 3-5 tahun, anak dengan keterikatan yang aman lebih ingin tahu, kompeten,
empatik, ulet dan percaya diri ketimbang anak dengan keterikatan yang tidak
aman; bergaul dengan anak lain dengan lebih baik; dan lebih cenderung membentuk
hubungan persahabatan yang lebih intim. Keunggulan keterikatan yang aman terus
terasa hingga pada masa anak anak dan setelahnya. Dalam observasi labiratorium
Prancis dan Kanada, pola keterikatan dan kualitas emosional interaksi anak
berusia 6 tahun dengan ibu mereka memprediksikan kekuatan keterampilan
komunikasi, keterlibatan kognitif, dan penguasaan motivasi sang anak pada usia
8 tahun.
Ketika
anak berusia 10-11 tahun diamati dalam sebuah perkemahan musim panas, anak anak
yang sejarah keterikatan yang aman membuat dan menjaga pertemanan serta
berfungsi dalam kelompok. Dalam reunion anak berusia 15 tahun yang pernah
berkemah tadi, remaja yang milikiketerikatan yang aman pada masa bayi dinilai
lebih tinggi dalam kesehatan emosional, kepercayaan diri, kelenturan ego, dan
kemampuan berteman dengan konselor atau teman mereka dan dengan para periset
yang mengamati mereka.
Sebaliknya
bayi yang tidak memiliki keterikatan yang tidak aman sering kali memiliki
masalah kemampuan menahan diri dan emosi negatif pada masa batita, bermusuhan
dengan yang lain pada usia 5 tahun, serta ketergantungan pada usia sekolah.
Mereka dengan keterikatan tidak terorganisir (disorganized attachment) cenderung memiliki masalah perilaku pada
semua level sekolah dan kelainan psikiatrik pada usia 17 tahun akan tetapi,
bisa jadi korelasi antara keterikatan pada masa bayi dengan alur perkembangan
dimasa kemudian, tidak bersumber dari keterikatan itu sendiri, tapi dari
karakteristik kepribadian mendasar yang memperngaruhi keterikatan itu dan juga
interakasi orang tua- anak setelah masa bayi.
Komunikasi Emosional Dengan
Pengasuh : Regulasi Mutual
Interaksi
yang mempengaruhi kualitas keterikatan tergantung kepada mutual regulation (regulasi mutual) yaitu kemampuan yang dimiliki
oleh bayi dan pengasuh untuk merespon dengan tepat sinyal kondisi emosional
kedua belah pihak. Bayi mengambil peran aktif dalam proses ini dengan
memengaruhi cara bertindak para pengasuh kepada mereka.
Interaksi
yang sehat terjadi apabila sang pengasuh membaca sinyal yang diberikan bayi,
dan apabila tujuan si bayi tercapai, ia akan bahagia. Apabila si pengasuh
mengacuhkan si bayi, si bayi akan memberikan sinyal “rasanya saya tidak
menyukainya”, si bayi dapat merasa frustasi atau sedih. Normalnya interaksi
bergerak maju mundur antara kondisi pernyataan yang bagus dan yang tidak, dan
si bayi belajar dari pergantian ini tentang bagaimana mengirimkan sinyal serta
apa yang harus dilakukan ketika sinyal awal mereka tidak bermuara pada
keseimbangan emosinal yang nyaman.
Paradigma
“still-face” adalah suatu metode riset yang digunakan untuk mengukur regulasi
mutual pada bayi yang berusia antara 2 sampai 9 bulan. Dalam episode still face, yang kemudian diikuti oleh
interaksi tatap muka normal, sang ibu dengan wajah yang secara tiba tiba
membatu, diam dan tidak merepon. Beberapa menit kemudia, si ibu kembali
melanjutkan interaksi normal. Sepanjang perode still face, si bayi cenderung untuk berhenti tersenyum dan
memandang sang ibu. Mereka mungkin akan membuat mimik, suara atau gerakan tubuh
yang mugkin akan menyentuh benda yang didekatnya dan hal ini tampaknya
dilakukan untuk melepaskan diri mereka dari tekanan emosional yang tercipta
dari perilaku ibu yang tidak di duga.
Cara
yang dilakukan bayi selama episode penyatuan kembali miliki 2 opsi, yaitu bayi
menunjukkan respon positif atau negatif. Respon positifnya adalah bayi
menunjukkan ekspresi kegembiraan, dan keriangan, serta gerak tubuh yang di
arahkan kepada sang ibu dibandingkan sebelum episode still face. Sedangkan respon negatifnya adalah si bayi menunjukkan
ekspresi marah, sikap menjauh, dan indikasi stress yang menyatakan bahwa si
bayi tidak langsung menerima pembukaan kembali setelah still face.
Kondisi
seperti ini penting karena kemampuan si bayi untuk mengatur emosi pada usia 2
bulan dapat digunakan untuk memprediksikan keamanan keterikatan pada usia 12
bulan. Dalam sebuah observasi laboratoris, seorang anak laki-laki berusia 6
bulan cenderung lebih sulit mengatur emosi mereka ketimbang anak perempuan di
usia yang sama sepanjang episode still
face. Dalam pertemuan tatap muka normal, anak laki-laki mempertahankan
sinyal koordinasi emosional yang lebih baik dengan ibi mereka ketimbang anak
perempuan, tapi membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memperbaiki
ketidaksesuaian.
Stranger Anxiety dan Separation
Anxiety
Shophie
biasanya adalah seorang bayi yang “bersahabat , tersenyum kepada orang dan
mendekati mereka,terus-menerus mengoceh
dengan riangg kepaada siapa saja yang ada disekitarnya”. Sekarang
usianya sudah 8 bulan, dia menjauh ketika ada orang yang mendekatinya, dan
menagis ketika orang tua, pengasuh atau orang yang suka mengasuhnya, hal
tersebut menunjukkan bahwa shopie sedang mengalami stranger anxiety ( kecemasan
terhadap orang asing ), yaitu kecemasaan terhadap oaring yang tidak ia kenal,
dan separation anxiety ( kecemasan terhadap perpisahan, yaitu kesulitan ketika
seseorang yang dekat dengannya meninggalkany.
Separation
anxiety dan stranger anxiety biasanya
dianggap sebagai tongggak emotional dan kognitif paruh kedua masa bayi,
merefleksikan keterikatan terhadap sang ibu, akn tetapi riset yang lebih baru
menyatakan bahwa walaupun kedua jenis kecemasan tersebut merupakan hal yang
cukup khas akan tetapi tidak bersifat universal. Tangisan seorang bayi ketika
orang tuanya meninggalkannya atau ketika orang lain datang bias jadi lebih
mengindikasikan perangai bayi atau kondisi hidup bayi ketimbang keamanan
keterikatan.
Sebelum
usianya 6 bulan, bayi jarang sekali berinteraksi negtif terhadap orang lain, dan biasa melakukan hal
tersebut pada usia 8 atau 9 bulan dan
terus meningkat pada usia pertamanya. Perubahan ini bisa menunjukkkan perkembangan
kognitif . kecemasann shopie terhadap orang lain melibatkan ingatan wajah, dan kemampuan untuk
membedakan antara penampakan sang ibu
dengan orang asing, dan mungkin
pengigantan kembali dimana ia ditinggalkan oleh oraangtuanya dan bersama orang
lain, jikka shopie dibiarkan untuk membiasakan diri dengan si orang asing tersebut
secara gradual dan setting yang akrab
dengan dirinya, dia mungkin berinteraksi dengan positif. Sebagai mana yang
telah di amati oleh mead di budaya pulau Tenggara , pada saat itu, tidak satupun ketakutan
terhaddap orang asing dan protes mendalam ketika sang ibu meninggalkan sibayi,
keterikatan lebih jauh dengan apa yang terjadi ketika sang ibu kembali dan
seberapa banyak anak mengeluarkan airmata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar